Tanggal:23 December 2024

8 Norma-norma Jurnalistik Sastra, Beserta Penjelasannya

Jurnalisme sastra telah tumbuh berkembang dan jutaan pembawa mencarinya. Ditulis oleh Mark Kramer dalam “literacy Jumatisme A New Collection of the Best American Nonfiction” (1995:23 24). Namun jurnalisme sastra hanya bisa dikenali lewat dalil you-know-it- when-you-see-it. Artinya, anda tahu kalau anda sudah melihatnya. Seperti dikutip Kurnia. Kramer menyusun semacam aturan atau norma-norma yang harus dilakukan seorang jurnalis sastra ketika menyiapkan tulisannya (Kurnia, 2004:121).

Aturan atau norma itu, menurut Kramer mencakup delapan hal. Berdasarkan buku Jurnalistik Indonesia (2017), berikut dibawah ini penjelasan lengkapnya. Simak yuk!

8 Norma-norma Jurnalistik Sastra

1. Riset Mendalam dan Melibatkan Diri dengan Subjek

Seorang jurnalis harian, memerlukan waktu persiapan yang sangat singkat sebelum melakukan proses peliputan atau reportase. Dalam sejumlah kasus tertentu, seorang jurnalis harian bahkan tidak sempat melakukan persiapan sama sekali. la sedang berada di lapangan. Selanjutnya, dirinya atas inisiatif sendiri atau ditelepon oleh atasannya dari kantor pusat. Kemudian langsung mengunjungi dan berada di lokasi peristiwa, la melihat, mencatat dan merekam. Sesampainya, la sibuk memotret, dan juga melakukan wawancara dengan sejumlah orang. Setelah segera bergegas pulang ke kantor redaksi untuk menuliskan dan melaporkannya ke desk editor.

Jurnalis sastra sebaliknya, mereka memerlukan waktu lama, berhari-hari, berminggu-minggu dan bahkan berbulan-bulan. Hanya untuk melakukan riset atas subjek yang akan ditulisnya. Mereka sosok yang kreatif, karena seringnya bekerja sendiri, dan mereka pun akrab dengan dunia yang sunyi. Jauh dari hingar-bingar aktivitas manusia seperti di mall, stasiun, bandara. Dalam kesendirian itu, mereka terus mengenali dan memburu subjek. Karena ia harus yakin, subjek yang akan ditulis sudah dikenalinya luar maupun dalam.

2. Jujur Kepada Pembaca dan Sumber Berita

Seorang jurnalis sastra, bahkan seorang jurnalis konvensional sekalipun. Harus jujur kepada diri sendiri, profesi, media tempat bekerja, sumber berita, narasumber. Serta kepada pembaca, pendengar, atau pemirsa. Selain itu, seorang jurnalis adalah seorang yang jujur, lurus, istiqamah. Sekali berbuat tidak jujur, selamanya akan dihantui perasaan bersalah. Selebihnya, para jurnalis sastra harus siap-siap dengan berbagai kemungkinan menghadapi celaan, ancaman, dan bahkan hukuman.

Etika dasar jurnalistik mengajarkan, seorang jurnalis, wartawan atau reporter. Sejak dini harus bisa membedakan den tidak membaurkan antara fakta dan opini. Tidak merekayasa fakta peristiwa, dan senantiasa me aporkan semua yang dilihat dan didengarnya dengan benar, jujur, faktual, objektif. Dosa besar jika melanggar semua itu. Setidak-tidaknya, mereka akan dinilai sebagai reporter yang tidak berkualitas dan tidak bermoral.

3. Fokus kepada Peristiwa-peristiwa Rutin

Seseorang yang berprofesi sebagai jurnalis sastra tidak akan memaksakan diri untuk menyelam di dasar laut dengan mata telanjang. Artinya, mereka tidak akan melakukan sesuatu yang tak mungkin dikerjakan. Atas dalil apa pun, termasuk dalih liputan jurnalistik. Para jurnalis sastra memang harus kreatif, dan kaya inisiatif. Tapi dua hal itu, tidak lalu membuat gelap mata meliput sesuatu yang tidak mungkin (impossible).

Jadi, jurnalis sastra, di media mana pun dia bekerja pada dasarnya orang yang sangat tahu diri. Dalam pekerjaanny, mereka akan lebih memfokuskan diri pada peristiwa-peristiwa rutin. Artinya peristiwa yang biasa dibaca, dilihat didengar, atau bahkan suatu ketika dialaminya sendiri. Betapapun demikian, tidak berarti sesuatu yang rutin ditulis dan diperlakukan secara rutin pula. Seseorang jurnalis sastra adalah seorang pengungkap fenomena dan realitas yang gelap gulita, menjadi cerita peristiwa yang terang-bercahaya. Terlalu banyak sisi gelap di sekitar yang tak bisa diungkap lewat peliputan jurnalistik konvensional. Uniknya, hal tersebut hanya bisa, dan ternyata dengan mudah diungkap lewat jurnalistik sastra.

4. Menyajikan Tulisan yang Akrab-Informal-Manusiawi

Dalam jurnalisme sastra, narator bukanlah penulis yang impersonal atau akademisi yang menulis dengan cermat tanpa mempedulikan pembaca. Dia juga bukan penulis berita yang menyajikan sesuatu yang objektif dan faktual, yang menolak opini dan paham kolot. Narator jurnalisme sastra memiliki dekat atau tak menjaga jarak dengan pembaca, pendengar, atau pemirsa. Informal, berarti disajikan dalam gaya yang jauh dari kesan resmi, tidak kaku, luwes, lentur, pekat dengan nuansa personal. Manusiawi, berarti mampu mengangkat segi-segi humant interest atau sisi yang paling dasar dan naluriah. Mulai dari sifat, siap, dan perilaku manusia di mana pun. Sisi paling human dari setiap orang yang bernafas.

5. Gaya Penulisan yang Sederhana dan Memikat

Merujuk dalam hal bahasa, jurnalisme sastra menggunakan bahasa yang efisien, individual, informal, sederhana, penuh gaya, terkontrol, dan elegan. Bahasa jurnalisme sastra menggugah, lincah, dan dipertajam dengan kata kerja aktif. Sebaliknya, jurnalisme lama sangat hemat dalam menggunakan kata kerja abstrak, kata sifat, keterangan dan bentuk-bentuk bahasa formal yang menjemukan. Semua itu merupakan alat jurnalis sastra, dan ekspresi sederhana adalah tujuannya (Kurnia, 2004:131).

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan gaya penulisan sederhana?. Tiada lain adalah gaya yang mudah diikuti dan dipahami oleh pembaca, pendengar, atau pemirsa. Gaya yang selaras dengan logika dan pola berpikir khalayak awam di mana pun. Sederhana kata-katanya, sederhana susunan kalimatnya, dan sederhana susunan paragraf yang dirangkainya. Sangat dihindari misalnya pemakaian kalimat majemuk bertingkat. Dalam pedoman penulisan jurnalistik, penggunaan kalimat majemuk bertingkat termasuk diharamkan. Karena hanya akan membingungkan pembaca, pendengar, atau pemirsa. Betapapun demikian, gaya yang sederhana itu, memiliki daya pikat luar biasa. Ia memikat, karena ia lincah, hidup, atraktif, bergelora.

6. Sudut Pandang yang Langsung Menyapa Pembaca

Pembaca, pendengar, atau pemirsa, bukanlah patung yang tak bernyawa. la manusia, makhluk mulia. Karena itu, ia ingin disapa, dihargai, dihormati, diperlakukan sebagaimana layaknya manusia. Oleh karena itu, mereka tidak boleh dibiarkan sendiri, menyepi, atau apalagi kepribadian. Dia manusiawi dan mampu menulis secara akrab, tulus, ironis, keliru, bingung, penuh penilaian. Bahkan dengan nada mencemoohkan diri sendiri (Kurnia, 2004:128).

Pada jurnalistik sastra, yang diperlukan tidak hanya kemampuan melaporkan fakta. Itu sih kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh siapa pun jurnalis konvensional. Dasarnya jurnalistik sastra, justru diperlukan kemampuan yang lebih tinggi. Menulis akrab, informal, dan manusiawi. Akrab berarti seolah-olah terisolasi. Harus diajak, didorong, dikondisikan untuk terlibat dan masuk dalam realitas subjek peristiwa yang kita tulis. Semua ini bisa tercapai apabila kita sebagai jurnalis sastra. Menggunakan sudut pandang penulisan yang langsung menyapa pembaca, pendengar, atau pemirsa. Menyapa, berarti juga karya jurnalistik sastra kita diterima oleh pembaca, pendengar, atau pemirsa dengan setulus hati. Tidak dengan perasaan terpaksa. Kemudian tidak dengan suasana hati tersiksa. Serta tidak pula dengan sikap yang seolah-olah dibuat menderita. Konsep jurnalistik sastra, justru hadir untuk menghapus semua itu.  Dengan berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, dalam suasana penuh suka cita. Bukan malah dibuat bermuram durja.

7. Menggabungkan Naratif Primer dan Naratif Simpangan

Pakar pers Atmakusumah Astraatmadja melukiskan, jurnalisme sastra memberi pencerahan kepada wartawan. Dengan memperkenalkan gaya penulisan bertutur untuk reportase human interest yang sangat rinci. Suatu gaya peliputan dan pelaporan jurnalistik yang telah memperkaya jurnalisme. Dalam gaya penuturan itu, jurnalistik sastra mengembangkan apa yang disebut naratif primer dan naratif simpangan. Naratif berarti kisah atau pengisahan. Primer berarti utama. Simpangan berarti digression: melantur, menyimpang dari pokok pembicaraan (Echols dan Hassan Shadily, 1990:182).

Apa maknanya? Dalam konsep jurnalistik sastra. Penyimpangan berarti menunjuk kepada kisah pendukung. Sesuatu yang bersifat melengkapi sekaligus memperkaya kisah utama. Struktur naratif kisah, terjalin melalui berbagai sekuen adegan naratif primer atau kisah utama. Adegan naratif tersebut merupakan inti laporan, dan naratif simpangan atau digression. Kemudian kisah-kisah pendukung itu yang akan melengkapi laporan.

8. Menanggapi Reaksi-reaksi Sekuensial Pembaca

Para pembaca, cenderung memperhatikan bagaimana sebuah situasi dihadirkan oleh penulis dan apa yang akan terjadi setelah mengenali karakter kisahnya. Di sini terkait peran penghibur yang mesti diperhatikan para jurnalis sastra. Niat dan kesungguhan penulis dalam mengangkat makna yang mendalam, pentingnya pesan, dan penganalisaan. Harus disampaikan dengan penuh greget. Ini bisa tercapai jika dijalin lewat style dan struktur pengisahan yang memikat (Kurnia, 2004:134).

Dengan demikian, seorang jurnalis sastra dituntut lebih piawai dalam berkisah. Serta, mereka juga harus menguasai psikologi pesan sekaligus psikologi khalayak (pembaca, pendengar, pemirsa). Tak hanya itu, mereka juga mengetahui dengan baik, dan bisa mengikuti irama detak jantungnya dari detik ke detik, menit ke menit. Dalam situasi yang nyaman, terkendali, terukur. Singkat kata, seperti bunyi sebuah iklan “ia setia setiap saat”.

Nah, itu tadi delapan norma-norma jurnalistik sastra. Bagaimana menurutmu ? komen dibawah ya!

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *