Omnibus law adalah suatu metode pembuatan peraturan yang menggabungkan beberapa aturan perundang-undangan dengan regulasi yang berbeda dalam sebuah ranah hukum. Istilah omnibus law ini sering kali diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia.
Pada umumnya omnibus law mengambil alih peraturan yang sudah ada sebelumnya karena dianggap harus diperbaiki. Hal ini menyita perhatian masyarakat Indonesia ketika Presiden Republik Indonesia menyampaikan pidato kenegaraan dalam pelantikannya di hadapan MPR.
Nantinya akan ada tiga aturan undang-undang yang disebut sebagai RUU Cipta kerja (Ciptaker) yaitu pajak, lapangan pekerjaan, dan UMKM. Latar belakang munculnya ide ini lantaran negara kesulitan berinvestasi.
Masalah muncul dalam beberapa hal khususnya pada pajak, pengurusan tanah, serta aspek lainnya. Dengan adanya peraturan baru ini akan memudahkan investor untuk investasi. Lantas, ada apa saja pasal-pasal tersebut? Untuk itu Vocasia akan membahasnya secara tuntas. Yuk simak penjelasannya berikut ini!
Baca Juga | Hakikat, Dan Jenis Aliran Konvensional Tentang Tujuan Hukum
Apa itu Omnibus Law
Secara terminalogi, omnibus berasal dari kata latin yang berarti untuk semua. Secara hukum, omnibus law yaitu undang-undang yang dapat mencakup segala sesuatu atau undang-undang yang mengatur banyak hal. Omnibus law adalah bentuk UU yang mengatur berbagai subyek yang kompleks lalu disatukan dalam sebuah wadah hukum.
Baca Juga | 6 Landasan Hukum Pers Nasional, Beserta Penjelasannya
Tujuan dari Omnibus Law
Berdasarkan Pasal 3 RUU Cipta Kerja, disebutkan bahwa tujuan omnibus law adalah untuk menciptakan kesempatan kerja yang seluas-luasnya bagi masyarakat Indonesia secara merata. Hal ini dilakukan untuk mencapai kehidupan yang baik melalui poin-poin berikut:
- Kemudahan, perlindungan, pemberdayaan UMKM dan koperasi
- Peningkatan dalam berinvestasi
- Kemudahan melakukan bisnis
- Memperkuat perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja
- Investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
Baca Juga | Isi Surat Perjanjian Kontrak Karyawan Yang Perlu Kalian Ketahui
Pasal Kontroversial beserta Isinya
Dengan disahkannya UU Cipta Kerja, berbagai argumen hingga komentar pun membanjiri media sosial hingga gelombang mogok kerja yang terus berlanjut. Dalam 8UU Cipta Kerja ini, ternyata ada 14 pasal yang dinilai bermasalah dan kontroversial, di antaranya:
1. Pasal 59
UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Baca Juga | Karyawan Dan Staff, Berikut Perbedaan-Perbedaannya!
2. Pasal 59 Ayat (4)
UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja tertentu diatur dengan peraturan pemerintah.
Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.
3. Pasal 79
Dipangkasnya hak pekerja untuk mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Baca Juga | Kelebihan Dan Kekurangan Bekerja Di Perusahaan Outsourcing
4. Pasal 79 Ayat (2) huruf (b)
Pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan
5. Pasal 79
Menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.
6. Pasal 79 Ayat (3)
Hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
7. Pasal 79 Ayat (4)
Pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Baca juga | Lebih Pilih Mana, Pegawai Negeri atau Pegawai Swasta?
8. Pasal 79 Ayat (5)
Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
9. Pasal 88 Ayat (3)
Pasal yang tercantum pada dalam bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan. Tujuh kebijakan itu, yakni:
- Upah minimum
- Struktur dan skala upah
- Upah kerja lembur
- Upah tidak masuk kerja atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu
- Bentuk dan cara pembayaran upah
- Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah
- Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya
Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain:
- Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya
- Upah untuk pembayaran pesangon
- Serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan
- Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja
10. Pasal 88 Ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan peraturan pemerintah.
11. Pasal 91 Ayat (1)
UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja ataupun buruh, serikat pekerja maupun buruh. Upah tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
12. Pasal 91 Ayat (2)
Pasal ini menyatakan dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja atau buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan. Namun, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya. Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja atau buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.
13. Pasal 169 Ayat (1)
UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerja atau buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam.
Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih. Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.
14. Pasal 169 Ayat (3)
Pasal ini menyebutkan jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja. Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta.
Nah, itulah penjelasan mengenai seluk-beluk omnibus law. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan kalian tentang pasal serta perundang-undangan yang ada di Indonesia. Nantikan juga artikel lainnya dari Vocasia. Ikuti terus media sosial kami agar tidak ketinggalan informasi lainnya!
Baca Juga | CPNS Vs PPPK? Apa Sih Perbedaannya?