Secara umum, feature adalah produk karya jurnalistik sastra. Feature tunduk dan dibangun di atas landasan kaidah-kaidah jurnalistik sastra. Sebagai ilustrasi, cerpen dibangun di atas landasan kreasi, fantasi, dan imajinasi pengarang. Sedangkan feature dikembangkan melalui proses yang cukup panjang. Ia semula diusulkan melalui rapat proyeksi. Kemudian diberi aksentuasi (penekanan dan pembobotan) dan disetujui oleh pihak redaksi. Berikutnya diperkaya dengan hasil penelusuran referensi.
Setelah itu sang reporter atau wartawan terjun ke lapangan melakukan visitasi, observasi, komunikasi, dan konfirmasi. Akhirnya barulah ia melakukan rekonstruksi dengan menggunakan perspektif tertentu. Di sini, teknik dan gaya penulisan cerita fiksi ditampilkan dengan daya dukung narasi dan diksi yang sangat kuat, ekspresif, imajinatif, informatif.
Tom Wolfe, sebagai pelopor jurnalisme sastra, menekankan teknik penceritaan. Apa pun fakta yang dilaporkan akan dapat disimak oleh khalayak secara informatif dan imajinatif. Informatif, berarti laporan berita itu sarat dengan informasi yang dibutuhkan. Imajinatif, berarti khalayak dapat melakukan rekontruksi rangkaian fakta atau peristiwa sesuai dengan daya imajinasi dan fantasinya. Khalayak tidak sekadar dilapori. Kemudian, khalayak seolah-olah terlibat langsung dalam peristiwa yang dilaporkan itu.
Kata-kata, ujar novelis Joseph Conrad (Kurnia, 2002:43) memang harus membuat pembaca merasa mendengar dan melihat. Dari teknik penulisan roman, jurnalisme mendapat jalan untuk pengisahan news story yang lancar. Daya tarik roman, terletak pada gaya penceritaan yang dibangun dengan penyusunan adegan, pembuatan dialog, pemunculan tokoh-tokoh. Dengan berbagai karakter (sudut pandang), dan detail-detail yang menghidupkan imajinasi pembaca. Berdasarkan buku Jurnalistik Indonesia (2017). Berikut, petikan dari penjelasan Septiawan Santana Kurnia tentang alat penceritaan, sebagai empat ciri utama feature. Simak yuk!
4 Ciri Utama Cerita Feature
1. Penyusunan Adegan
Laporan disusun menggunakan teknik bercerita adegan demi adegan, atau suasana demi suasana. Sesedikit mungkin penulis Wolfe, prestasi reportase yang luar biasa berhasil diraih para mengambil gaya penyampaian dari penulis historis. Menurut jurnalis dengan cara ini. Jurnalis menyajikan scene peristiwa-demi-peristiwa-berita dalam urutan yang membuat pembaca. Seakan berada di lokasi ketika kejadian sedang berlangsung. Teknik pengisahan suasana-demi-suasana, atau adegan-demi-adegan, membuat pembaca larut dalam kejadian yang tengah dilaporkan jurnalis baru.
Untuk melaporkan suatu peristiwa secara lengkap, kerja jurnalis lebih dari sekadar melaporkan fakta-fakta dan menyusunnya secara kronologis. Mereka harus melakukan pengamatan yang melebihi kerja reportase biasa. Mereka harus mencari fakta-fakta di balik rangkaian adegan peristiwa-berita. Mungkin saja mereka perlu mewawancarai lebih dari selusin orang agar bisa menggali semua fakta yang ada. Fakta-fakta tersebut kemudian secara kreatif direkonstruksi menjadi rangkaian adegan news story dengan menggunakan apa saja yang masuk akal dan dapat dikumpulkan.
- Baca Juga : 6 Landasan Hukum Pers Nasional, Beserta Penjelasannya
- Baca Juga : 11 Bahasa Jurnalistik Pers, Lengkap Beserta Penjelasannya
2. Dialog
Alat yang kedua adalah “mencatat dialog secara utuh”. Setiap orang pasti akan “berkata” atau “menyampaikan sesuatu” (talking). Kemudian apa yang dikatakannya bisa bernilai “berita” (news). Tulis Charnley, profesor jurnalistik dalam bukunya Reporting yang sering menjadi rujukan jurnalisme. Ucapan orang yang membuat berita terjadi sebelum disampaikan pada khalayak. Berita tersusun setelah reportase bertanya-jawab dengan narasumber.
Dengan teknik “dialog” ini, jurnalis sastra mencoba menjelaskan peristiwa yang hendak dilaporkannya. Bagaimana kejadiannya, disampaikan. Melalui percakapan pula, disiratkan karakter para pelaku yang terlibat, sekaligus diterangkan mengapa suatu peristiwa terjadi. Melalui dialog, jurnalis mencoba memancing rasa keingintahuan pembaca.
3. Sudut Pandang Orang Ketiga
Dengan alat ini, jurnalis baru tidak hanya menjadi si pelapor, ia bahkan kerap menjadi tokoh berita. la bisa menjadi orang di sekitar tokoh, karena ia harus berperan menjadi pelapor yang tahu jalannya peristiwa. Pembaca dilibatkan, diajak berada di tiap keinginan, pikiran, dan pengalaman yang terjadi.
Alat ini mempresentasikan setiap suasana peristiwa-berita melalui pandangan mata scorang tokoh yang sengaja dimunculkan. Dengan alat ini, pembaca diberi tahu tentang perasaan narasumber dan pengalaman emosionalnya yang terjadi saat itu. Berbagai cara ditempuh jurnalis sastra untuk mendapat sudut pandang yang diinginkannya. Sudut pandang bisa didapat dari orang yang diwawancarai atau orang yang hanya diajak bercakap-cakap sekilas. Bila perlu dari orang yang tak sengaja berpapasan dengannya di jalan.
4. Mencatat Detail
Semua hal dapat dicatat secara rinci. Seperti perilaku, adat istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, dekorasi rumah, perjalanan wisata, makanan, cara merawat rumah. Serta hubungan dengan anak-anak, teman sebaya, atasan, bawahan. Kemudian pandangan-pandangan lain yang bersifat sekilas seperti pose, gaya jalan, dan berbagai simbol lain.
Berbagai tanda sosial itu memberikan status sosial di masyarakat. Bagi Wolfe, itu merepresentasikan dasar pikiran dari perilaku, ekspresi, sampai harapan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Perekaman detail-detail amatan jurnalis akan memberi kekuatan literer dalam pelaporan mereka. Jurnalis harus mencatat semua itu. Setiap detail laporan yang baik melambangkan setting komunitas sosial tertentu. Menyangkut status dan prestise, meliputi pola perilaku dan ekspresi di berbagai posisi, juga pemikiran dan harapan sosial mereka.
Nah, itu tadi penjelasan mengenai empat ciri utama dari cerita feature. Bagaimana menurutmu ? komen dibawah ya!
Leave a Reply