Secara umum berita merupakan sebuah informasi yang penting dan menarik perhatian, serta minat khalayak pendengar. Bedasarkan buku Jurnalistik Indonesia (2015). George Fox Mott dalam New Survey of Journalism (1958) mengungkapkan, paling tidak terdapat delapan konsep berita. Delapan konsep berita tersebut harus diperhatikan secara khusus oleh para praktisi dan juga pengamat media massa. Berikut dibawah ini penjelasannya, simak yuk!
- Baca Juga : 9 Jenis Berita dalam Jurnalistik, Lengkap Beserta Penjelasannya
- Baca Juga : 11 Bahasa Jurnalistik Pers, Lengkap Beserta Penjelasannya
8 Konsep Berita dalam Jurnalistik
1. Berita sebagai Laporan Tercepat
Seperti didefinisikan para pakar jurnalistik, berita adalah laporan tercepat yang disiarkan surat kabar, radio, televisi atau media online internet. Mengenai opini atau fakta atau kedua-keduanya, yang menarik perhatian dan dianggap penting oleh sebagian terbesar khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa. Kecepatan dalam mencari, menemukan, mengumpulkan, dan mengolah berita, menjadi karakter dasar reporter dan editor. Lebih cepat suatu berita disiarkan, lebih baik. Karena faktor kecepatan itu pula, mengapa berita dibuat dalam pola atau rumusan baku piramida terbalik. Bagaimanapun, surat kabar tak terbit sendiri.
Surat kabar yang satu harus bersaing dengan surat kabar lainnya, di samping dalam waktu yang sama harus bersaing pula dengan radio dan televisi. Prinsip kecepatan dalam melaporkan berita, mengharuskan para reporter dan editor mampu bekerja dengan cepat. Namun prinsip ini tetap harus diimbangi pula dengan kelengkapan dan ketelitian, kecermatan dan ketepatan. Sehingga berita apa pun yang dilaporkan tetap faktual, benar dan akurat, dan tidak malah membingungkan khalayak pembaca.
2. Berita sebagai Rekaman
Karakteristik auditif sebagai satu-satunya wujud produk radio memungkinkan radio menyiarkan berita dalam konteks rekaman peristiwa. Rekaman peristiwa dalam pengertian “dokumentasi” dapat disajikan dalam berita dengan menyisipkan rekaman suara narasumber dan peristiwa, atau penyiaran proses peristiwa. Detik demi detik secara utuh melalui reportase dan siaran langsung sebagai rekaman gambaran peristiwa (Errol Jonathan dalam Mirza, 2000:70).
Rekaman tidak hanya berlaku untuk radio. Untuk surat kabar, tabloid dan majalah, atau sebut saja produk media cetak, berita juga mengandung arti rekaman peristiwa. Ia dinyatakan dalam berbagai bentuk tulisan dan laporan, foto dan gambar dalam untaian kata dan kalimat yang tersusun dengan rapi dan baik, jelas cermat. Sifatnya terdokumentasikan. Menurut pakar linguistik, tulisan lebih menekankan struktur dan makna. Sedangkan lisan atau ujaran lebih mengutamakan perhatian, pengertian, dan penerimaan (Tarigan, 1983:1-20).
Dalam perspektif teori jurnalistik, berita sebagai rekaman peristiwa yang terdokumentasikan itu, telah membuka luas ladang penelitian media massa. Antara lain dengan berpijak pada paradigma Harold D. Lasswell. Dulu, dikenal dengan teori analisis isi media walaupun di fakultas dan jurusan-jurusan komunikasi kurang diminati. Menurut Berelson (1952:18), analisis isi adalah teknik penelitian untuk melukiskan isi komunikasi yang nyata secara objektif, sistematik dan kuantitatif.
Kini, berkembang sejumlah teori, pendekatan, dan model “baru” dalam penelitian analisis teks media. Apa saja itu ? yakni analisis wacana, analisis semiotik, dan analisis bingkai (framing). Teori dan pendekatan yang sesungguhnya sudah lama itu, kini mulai bangkit dan digemari kembali di kalangan komunitas komunikasi dan media massa.
3. Berita sebagai Fakta Objektif
Berita adalah laporan tentang fakta secara apa adanya (das Sein), dan bukan laporan tentang fakta yang seharusnya (das Sollen). Sebagai fakta, berita adalah rekonstruksi peristiwa melalui prosedur jurnalistik yang sangat ketat dan terukur. Dalam teori jurnalistik ditegaskan, fakta-fakta yang disajikan media kepada khalayak sesungguhnya merupakan realitas tangan kedua (second hand reality). Realitas tangan pertama adalah fakta atau peristiwa itu sendiri (first reality).
Karena merupakan realitas tangan kedua. Maka berita sebagai fakta sangat rentan terhadap kemungkinan adanya intervensi dan manipulasi. Meski pada tingkatan diksi atau simbolis sekalipun. Konsep makna di balik fakta itu pun digugat secara kritis melalui analisis teks media. Analisis bingkai, misalnya. Dalam pengamatan Sobur (2001:162), konsep bingkai atau framing akhir-akhir ini telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi. Hal itu untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah berita oleh media. Hasil pengamatan Sobur itu. Paling tidak berpijak pada temuan tiga pengamat media yang lain: Nugroho, Eriyanto, dan Surdiasis (1999:21).
Menurut ketiga pengamat itu. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita. Agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya.
Dengan kata lain. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil. Bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan. Serta hendak dibawa ke mana berita tersebut.
4. Berita sebagai Interpretasi
Setiap hari, berita yang disajikan media massa jumlahnya mencapai ribuan. Melalui teknologi komunikasi massa yang sangat canggih. Dewasa ini bahkan berita dibuat dan terus mengalir selama 24 jam penuh tanpa henti. Nonstop. Kantor-kantor berita dan ruang-ruang redaksi media massa. Bekerja di bawah tekanan waktu yang sangat tinggi (under pressure time highly) untuk bisa melaporkan berita secepat mungkin. Namun tetap dengan prinsip seakurat mungkin, bahkan pada saat yang bersamaan sekalipun (real time).
Teori jurnalistik mengingatkan, tidak semua berita dapat berbicara sendiri. Sering terjadi, berita yang diliput dan dilaporkan media, hanya serpihan-serpihan fakta yang belum berbicara. Tugas media adalah membuat fakta yang seolah membisu itu menjadi dapat berbicara sendiri kepada khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa. Dengan menggunakan bahasa yang enak, dibaca dan mudah dicerna. Untuk ini, redaksi menyajikan analisis berita, menyelenggarakan wawancara dengan para ahli, menggelar diskusi. Kemudian memberikan interpretasi terhadap berbagai fenomena dan fakta yang muncul. Antara lain melalui artikel dan tajuk rencana.
5. Berita sebagai Sensasi
Tahap paling awal dalam penerimaan informasi adalah sensasi. Sensasi berasal dari kata sense, artinya alat pengindraan, yang menghubungkan organisme dengan lingkungannya (Rakhmat, 1998:49). Kemudian, sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis, atau konseptual. Terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indra. Bedasarkan psikologi komunikasi massa. Khususnya psikologi pesan, berita media massa bisa dipahami sebagai sensasi, bisa dimaknai sebagai persepsi. Tetapi bisa juga benar-benar diartikan sebagai informasi. Selama ini, media massa kerap dituding lebih banyak menciptakan sensasi.
Sesuatu yang aneh dan menggemparkan. Tulisan dan laporan media massa yang bersifat sensasional kerap menuai kritik tajam dari masyarakat. Dikritik, karena sensasional dianggap lebih mendekati alam mistikal dan irasional. Daripada mengikuti alur logika serta mengembangkan pendekatan rasional. Dalam bahasa lain sensasional adalah salah satu bentuk tahayul pers yang harus dijauhi.
6. Berita sebagai Minat Insani
Berbagai peristiwa yang terjadi di dunia, dari dulu hingga kini, sering membuat hati dan perasaan kita luluh lantak. Kita sedih, menangis, dan bahkan histeris. Terlalu banyak berita yang disajikan media massa merobek-robek pikiran, perasaan, dan alam kejiwaan kita. Pemboman. Pembunuhan. Penyiksaan. Kekejaman. Tsunami. Semua itu amat sangat memukul hati dan nurani kita. Akal sehat kita. Tapi kita seperti tak berdaya. Tak bisa berbuat apa selain menangis dan histeris.
Dengan laporan berita-beritanya seperti itu. Media massa, bermaksud menggalang dan membangkitkan atensi serta motivasi kita untuk tetap bersatu, tetap bersaudara, dan saling berkomunikasi, serta saling mencintai. Tidak ada tragedi yang paling dahsyat di dunia ini kecuali tragedi kemanusiaan. Dengan kemampuan yang dimikinya, media merasa terpanggil untuk senantiasa menumbuhkan kepekaan individual dan kepekaan sosial masyarakat. Dompet Peduli Aceh pada media massa, contohnya. Setelah tragedi bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Hanya dalam sepekan saja sudah mampu menghimpun dana masyarakat sampai ratusan miliar rupiah.
- Baca Juga : Sejarah Perkembangan Jurnalisme di Indonesia
- Baca Juga : 5 Fungsi Utama Pers beserta Karakteristiknya
7. Berita sebagai Ramalan
Sesungguhnya berita tidak sekadar melaporkan perbuatan atau keadaan yang kasat mata. Namun berita sekaligus juga mengisyaratkan dampak dari perbuatan atau keadaan itu. Selain itu, berita sanggup memberikan interpretasi, prediksi, dan konklusi. Pandangan semacam ini mewajibkan siapa pun yang kerap berhubungan dengan media massa. Untuk tidak lari ke “dunia uji nyali” melalui berbagai penampakan yang mungkin menyesatkan. Schramm sudah menekankan, informasi adalah semua hal yang bisa menghilangkan ketidakpastian. Membaca, mendengar, dan melihat informasi, dengan demikian selayaknya harus membuat mata hati kita kaya dan bercahaya.
Bagaimana caranya? Kita dapat mengembangkan tradisi jurnalistik presisi. Semua informasi yang disajikan media, idealnya terdiri atas rangkaian fakta yang benar, akurat, lengkap. Tentu saja aktual melalui berbagai uji dan pendekatan akademik. Sebagai contoh, sejak era reformasi, media massa Indonesia sudah semakin terbiasa dengan penyelenggaraan jajak pendapat (polling). Pendapat dan keinginan masyarakat dibaca, diteliti, diukur melalui pendekatan statistik yang rumit. Hasilnya disajikan secara populer dan komunikatif, sehingga semua lapisan masyarakat dapat mencerna dan memahaminya dengan baik.
8. Berita sebagai Gambar
Dalam dunia jurnalistik dikenal aksioma: satu gambar seribu kata (one ficture one thousand word). Jadi, betapa dahyatnya efek sebuah gambar dibandingkan dengan kata-kata. Sekarang, tuis Muhtadi (1999:102). Dalam dunia persuratkabaran, gambar karikatur merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mempengaruhi khalayak setelah kolom editorial dan artikel. Sikap dan bahkan perilaku publik dapat digerakkan dengan bantuan gambar karikatur. Sebab gambar, foto, dan karikatur merupakan pesan-pesan yang hidup sekaligus menghidupkan deskripsi verbal lainnya. Karena itu, surat kabar dan majalah hanya akan menjadi lembaran-lembaran mati yang membosankan jika hadir tanpa foto dan gambar.
Nah, itu tadi penjelasan secara lengkap mengenai delapan konsep berita dalam jurnalistik. Bagaimana menurutmu ? komen dibawah ya!