Tanggal:22 November 2024

Begini Realitas Pelaksanaan Etika Komunikasi Massa

Etika adalah pedoman baik tidaknya sebuah proses pelaksanaan komunikasi massa. Sebagai sebuah pedoman “aturan”, tidak tertutup peluang memunculkan pelanggaran-pelanggaran. Ketika orang mengatakan bahwa kita harus berpegang pada etika, saat itulah sebenarnya ada bukti proses pelanggaran etika.

Dalam aktualisasinya, proses pelaksanaan etika masih banyak batu sandungan. Memang etika enak dibicarakan, tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Orang tersebut bukan tidak sadar bahwa etika itu tidak baik, tetapi ada “kepentingan lain” yang lebih besar sehingga masalah etika dipandang sebelah mata. Bedasarkan buku Pengantar Komunikasi Massa, karya Nurudin. Ada beberapa realita tentang pelaksanaan etika komunikasi massa, sebagai berikut. Simak dibawah ini, yuk!

Realitas Pelaksanaan Etika Komunikasi Massa

1. Pelaksanaan etika komunikasi massa masih membutuhkan perjuangan yang berat dan terus-menerus.

Dalam hal ini, etika komunikasi massa sangat sulit untuk dilaksanakan oleh semua pihak. Dengan kata lain, semua media massa mau melaksanakan etika komunikasi massa. Bukan berarti mereka tidak sadar, tetapi tuntutan, misi, visi, dan orientasi sama lain yang berbeda memungkinkan mereka berbeda pula dalam melaksanakan etika. Sebuah media yang orientasinya pada keuntungan materi dengan mementingkan pasar, tentu akan menghindari berita atau sajian yang sifatnya mendidik. Mereka akan lebih cenderung untuk mengekspos berita yang sensasional, bombastis, kriminal, atau seks. Kalau media orientasinya sudah seperti itu, pelaksanaan etika komunikasi massa

akan menemui banyak kesulitan. Pihak media sendiri tentu akan berkilah bahwa apa yang disajikan itu untuk kepentingan dan melayani masyarakat. Tetapi mereka tidak bisa menyadari bahwa pemberitaan atau gambar-gambar yang dimunculkannya melanggar etika. Apalagi jika saham terbesar yang ada pada sebuah media itu di miliki oleh pengusaha. Orientasinya tentu keuntungan bisnis.

2. Pelaksanaan etika bisa terhambat karena masing-masing pihak (pers, pemerintah, dan masyarakat) membuat ukuran tersendiri.

Bagi pers, apa yang diberitakan dianggap sudah mewakili kepentingan masyarakat. Namun hal demikian berbeda dengan pemerintah. Pemerintah model apa pun cenderung untuk mempertahankan kekuasaan. Paling tidak, bagaimana cara sang pemimpin itu bisa berkuasa tanpa ada gangguan di luar dirinya.

Mereka menyadari bahwa media mempunyai kekuatan yang besar di dalam membentuk opini publik, mereka berusaha “menguasai” media massa. Posisi demikian tentu akan membawa implikasi penerapan etika yang sudah sama-sama diyakini untuk dilaksanakan akan disesuaikan dengan kepentingan pemerintah. Sementara itu, bagi masyarakat sendiri, mereka kadang juga mempunyai tuntutan sepihak. Bagi masyarakat, media tidak boleh memberitakan kasus pornografi misalnya. Mereka sekadar menuntut, tetapi di sisi lain mereka senang dan menikmatinya. Bisa dikatakan, kalau masing-masing pihak sudah berbeda ukuran di dalam memahami pihak lain. Pelaksanaan etika komunikasi massa masih sulit diwujudkan.

3. Pelaksanaan etika komunikasi massa sulit diwujudkan karena tanggung jawabnya terletak pada diri sendiri dan “sanksi” masyarakat.

Karena tanggung jawabnya ada pada diri masing-masing, sangatlah subjektif pelaksanaannya. Hal demikian akan sangat terasa jika kita memperbincangkan KEWI. Dalam KEWI disebutkan bahwa tanggung jawab pelaksanaan KEWI ada pada diri wartawan yang bersangkutan. Termasuk di sini pula, mereka yang sudah acuh dengan lingkungan sosial akan sulit melaksanakan etika. Misalnya, sebuah media dikelola oleh orang-orang yang tidak mau tahu kondisi fisik dan psikis masyarakat. Media massa itu tidak akan merasa bersalah jika memberitakan informasi yang sebenarnya melanggar etika. Sama seperti seseorang yang melanggar norma kesopanan tidak akan merasa kena sanksi masyarakat karena sebenarnya ia tidak peduli dengan sanksi tersebut. Misalnya, seseorang yang meludah di depan sekumpulan orang. Oleh karena ini, agar pelaksanaan etika komunikasi massa kuat, perlu didukung dengan hukum yang mempunyai sanksi nyata dan tegas.

Hukum itu adalah hukum positif. Hal ini hanya bisa dilakukan jika yang dirugikan oleh saluran komunikasi massa merasa dirugikan secara materi. Jadi, semua pihak harus menjadikan aturan hukum tersebut sebagai puncak penyelesaian setiap kasus yang ada. Perilaku ini tidak saja mempertegas dan memperkuat pelaksanaan etika komunikasi massa, tetapi juga menopang penegakan hukum. Contohnya, artis Femmy Permatasari dan Shanty pernah difoto secara “liar” di ruang ganti pakaian. Bahkan fotonya bisa dilihat di internet. Kedua artis ini merasa bahwa ada pelanggaran etika komunikasi massa bukan oleh medianya. Tetapi oleh orang yang memfoto mereka tersebut. Karena, orang yang memfoto berkilah tidak ada pelanggaran erika, mereka melakukan penuntutan di depan pengadilan. Kasus ini bisa menjadi contoh bahwa masalah etika dalam pelaksanaannya perlu didukung oleh peraturan hukum yang lain.

4. Semakin tinggi pendidikan masyarakat, semakin sadar mereka akan pentingnya pelaksanaan etika komunikasi massa.

Meskipun ini belum tentu jaminan. Semakin tinggi pendidikan justru kadang membuat manusia gampang untuk “mengakali” pelanggararı etika. Namun demikian, kesadaran pelaksanaan etika lebih bisa tumbuh dalam masyarakat terdidik. Orang yang gampang membuang sampah di sembarang tempat (sebagai salah satu pelaksanaan etis). Umumnya mereka yang berpendidikan menengah dan bawah. Contoh ini bisa dijadikan dasar pijakan bahwa pelaksanaan etika pun mempunyai peluang dilanggar pada kalangan menengah ke bawah. Sudah jelas bahwa pornografi melanggar etika, tetapi masyarakat menengah dan bawah justru menikmatinya. Meskipun diyakini pula, semakin maju suatu masyarakat semakin berbeda “tolok ukur” pelaksanaan etikanya.

Nah, itu tadi penjelasan mengenai realitas pelaksanaan dari etika komunikasi massa. Bagaimana menurutmu ? komen dibawah ya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *