Tanggal:14 November 2024

Gagasan Priming dan Framing Media Massa dalam Opini Publik

Penelitian mengenai agenda setting di balik kekurangan dan kelebihannya. Telah memberikan kita pemahaman bagaimana peran media dalam membentuk opini publik. Penelitian agenda setting terus berkembang hingga ada yang disebut dengan penelitian agenda setting tingkat kedua. Kemudian, menurut para peneliti, sebagai sebuah objek, sebuah berita selalu memiliki atribut tambahan. Di dalamnya mengandung komponen kognitif. Seperti informasi tambahan yang menggambarkan karakteristik objek. Tetapi juga komponen afektif yang biasanya berupa penilaian. Sesuai dengan karakteristik agenda, bisa positif, negatif, ataupun netral.

Belakangan, upaya untuk lebih memahami peran media massa meluas ke dalam konteks yang disebut sebagai priming dan framing. Yang menurut McCombs adalah “tambahan alamiah” dari agenda setting. Baik priming (penonjolan) maupun framing (pembingkaian). Sama-sama muncul dari kerja media, atau dilandasi oleh agenda media. Walaupun, seperti halnya agenda setting, juga bisa dipengaruhi (dan mempengaruhi) agenda publik dan agenda kebijakan (negara).

Berdasarkan sumber buku Opini Publik (2019). Berikut adalah penjelasan mengenai gagasan Priming, dan Framing media massa, dalam opini publik. Simak dibawah ini, ya!

Baca Juga : Jenis Penelitian Agenda Setting Media Massa dalam Opini Publik

Gagasan Priming Media Massa dalam Opini Publik

Pada, gagasan mengenai media priming sebagai aspek yang lebih spesifik dari agenda setting. Munculah dari teori pembelajaran sosial (social learning theory) dan penelitian-penelitian mengenai efek dari perilaku agresi dalam ranah psikologi. Akan tetapi, gagasan ini juga memiliki kaitan dengan penelitian kampanye pemilu dalam upaya politikus

menghubungkan diri mereka. Dengan isu yang dianggap paling kuat mewakili reputasi mereka. Jika politikus memiliki latar ekonomi. Misalnya, ia akan berbicara mengenai sebuah isu dari perspektif ekonomi sehingga terlihat lebih mumpuni atau menonjol.

Kemudian, dalam perspektif psikologi, teori priming menyatakan bahwa apa yang digambarkan media bisa melekat di dalam benak penonton. Misalnya, ketika seseorang melihat karakter kartun memainkan adegan yang menimbulkan rasa sakit atau luka pada karakter lain. Tanpa konsekuensi permanen (misalnya memukul menggunakan benda keras hingga kepalanya benjol). Hal itu bisa membuat orang lebih mungkin untuk meniru tindakan kekerasan tersebut dalam kehidupan nyata. Sebagai contoh, banyak penelitian mengenai efek media massa terutama anak-anak-membuktikan hal ini.

Contohnya lagi, ada sebuah kasus yang melaporkan seorang anak terjun dari gedung tinggi dengan menggunakan jubah. Karena beranggapan bahwa ia bisa terbang seperti tokoh Superman.

General aggression model (GAM/model agresi umum) mengintegrasikan teori priming dengan teori pembelajaran sosial. Untuk menggambarkan bagaimana perilaku kekerasan yang dipelajari sebelumnya. Dapat dipicu oleh pikiran, emosi, atau penyataan fisiologis, serta dipicu oleh pemberitaan atau penayangannya di media. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir, model ini telah dikritik. Karena asumsinya dianggap lemah dan teorinya dilandaskan pada bukti yang tidak.terlalu kuat.

Didasarkan pada psikologi kognitif, teori priming media berasal model jaringan asosiatif memori manusia. Dimana ide atau konsep disimpan sebagai simpul dalam jaringan dan berhubungan dengan ide-ide atau konsep lain. Dihubungkan dengan jalur semantik. Priming mengacu pada aktivasi penonjolan dalam suatu sistem jaringan informasi yang dapat berfungsi sebagai filter.

Gagasan Framing Media Massa dalam Opini Publik

Ada perdebatan mengenai apakah teori framing harus dimasukkan dalam agenda-setting sebagai agenda setting tingkat kedua atau tidak. McCombs, Shaw, Weaver, dan peneliti lain. Umumnya berpendapat bahwa framing merupakan bagian dari agenda setting yang beroperasi sebagai tingkat kedua atau efek sekunder. Sementara Dietram Scheufele berpendapat sebaliknya. la berpendapat bahwa framing dan agenda setting memiliki batas-batas teoretis yang berbeda. Beroperasi melalui proses kognitif yang berbeda (aksesibilitas vs atribusi), dan berhubungan dengan hasil yang berbeda.

Teori framing muncul pada era media massa pada 1970-an. Di Amerika Serikat, saat itu penelitian media bergeser dari efek media unidimensional. Kemudian mulai melihat bentuk spesifik pengaruh media pada khalayak. Di antara isu-isu lain, penelitian media digunakan untuk melihat kuatnya peran media massa nasional. Dalam membentuk isu-isu politik dalam masyarakat. Khalayak diterpa aliran informasi secara terus-menerus. Sehingga jelas bahwa media tidak hanya mempengaruhi khalayak selama kampanye pemilu. Tetapi juga kuat dalam membangun persepsi mengenai dunia dan wacana politik. Seperti yang dikatakan Benjamin Cohen, meskipun media tidak secara efektif mengatakan apa yang harus kita pikirkan. Mereka mengatakan pada kita tentang apa yang harus dipikirkan.

Pada waktu itu, berbagai studi mulai menyelidiki lebih lanjut perbedaan penting ini. Maxwell McCombs dan Donald Shaw mengembangkan pendekatan agenda setting. Pendekatan tersebut mengklaim bahwa ada hubungan antara jumlah cakupan isu politik tertentu dan relevansi yang dirasakan. Tidak mengherankan jika kemudian teori framing menjadi penting di berbagai sektor dalam masyarakat media transnasional. Pengetahuan tentang teori framing dianggap penting dalam perencanaan kampanye media. Contohnya dalam periklanan, public relations, dan sektor politik.

Nah, itu tadi penjelasan mengenai gagasan priming dan framing media massa dalam opini publik. Bagaimana pendapatmu? komen dibawah, ya!

Baca Juga : Etika Komunikasi Massa, Beserta Penjelasannya

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *